PANGERSA ABAH TERIMA GELAR
POLISI KEHORMATAN
Karena tak kuasa menahan tangis, KAPOLWIL (Kepala Kepolisian Wilayah) Priangan yang baru, Drs. Anton Charliyan, MPKN terlihat menyeka kedua matanya sambil mengamini ketika Pangersa Abah Anom berdo'a untuknya. "Ini Kapolwil Baru, Bah. Mohon dido'akan supaya diberi kelancaran dan keselamatan dalam melaksanakan tugas", kata KH. Zaenal Abidin Anwar. Anton tiba di Suryalaya pukul 10.30 WIB. Sejak pagi, Pangersa Abah sudah duduk di kursinya di Madrasah ditemani Umi untuk menyambut kedatangan tamu-tamu ini. Sementara itu, 2 dari 3 orang Pengemban Amanah Sesepuh, KH. Zaenal Abidin Anwar dan H. Dudun Noor Saiduddin Ar. (Putera tertua Abah) serta Sekretaris Pribadi Abah, H. Baban Ahmad Jihad S.B. Ar. (putera Abah juga) berbincang-bincang dengan beberapa orang pejabat di jajaran Kapolres Tasikmalaya dan Kapolsek Pagerageung yang sudah tiba di Suryalaya sekitar pukul 10.00 WIB.
Usai menyampaikan kata-kata sambutan, KH. Zaenal Abidin Anwar mempersilahkan Kapolwil untuk menyampaikan maksud dan kedatangannya. "Saya hanya ingin bersilaturahmi dan memohon do'a kepada Abah sehubungan dengan tugas saya yang baru", kata Kombes Pol. Drs. Anton Charliyan, memulai sambutannya. Seisi Madrasah dibuatnya tertegun setelah Anton memberitahu bahwa dia adalah asli dari Panumbangan. Panumbangan adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis yang berjarak hanya beberapa km saja dari Suryalaya. Kedua tempat ini dipisahkan oleh Sungai Citanduy yang membatasi Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Melihat kiprah Suryalaya dalam menanggulangi para korban penyalahgunaan Narkotika dan kenakalan remaja, Kapolwil memberikan gelar kehormatan berupa Honorary Police (Polisi Kehormatan) kepada Pangersa Abah. "Mohon maaf, Abah, saya ingin memasangkan topi ini untuk Abah", kata Anton yang tadinya terlihat tidak berani tapi kemudian diizinkan oleh H. Baban, "Silahkan pak, laksanakan, ini tugas Bapak". Selain Abah, Kapolwil juga memberikan Piagam Penghargaan kepada 3 orang Pengemban Amanah Sesepuh dan Sekretaris Pribadi Sesepuh. Dalam piagam penghargaan itu disebutkan bahwa mereka telah berperan serta ikut sebagai pelopor menciptakan situasi Kamtibmas yang kondusif di wilayah Priangan. Sambil istirahat, pesantren menyiapkan jamuan makan siang. Usai melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah, rombongan kemudian meninggalkan Suryalaya.
Langkah dakwahnya telah dimulai sejak duduk di bangku STM. Sempat tergila-gila dengan paham Wahhabi, tapi akhirnya muballigh yang satu ini kembali ke jalur asalnya, Islam tradisional. Bahkan kini ia mendalami tasawuf dan thariqah.
Siapa yang tak kenal dengan muballigh yang satu ini. Wajahnya yang teduh kerap menghiasi layar kaca di rumah kita dalam acara santapan ruhani, dialog religi, atau pengantar berbuka puasa. Gaya bicaranya yang mantap dan materi ceramahnya yang sarat nilai-nilai tasawuf, meski tetap dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikan tamu kita yang satu ini segera merebut perhatian jutaan umat Islam di tanah air. Sejak penghujung dasawarsa ’70-an ia telah mulai berdakwah, dimulai dari lingkungan tetangga dan teman-teman sekolahnya. Pertengahan era tahun ’80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, bahkan hingga lintas negara. Beberapa Negara seperti Jerman dan Perancis di Eropa, Jepang Singapura, Thailand, Brunei dan Malaysia di Asia, Australia hingga benua Amerika pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.
Kiprah kemuballighannya tentu tak diragukan lagi, namun tak banyak yang tahu bahwa dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat. Bahkan ia adalah salah satu Wakil Talqin K.H. Ahmad Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin alias Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. “Wakil Talqin” adalah istilah untuk badal (asisten) guru mursyid dalam Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin ulama sepuh yang lahir pada 1 Januari 1915 itu.
Dan, jika melihat aktivitas ketarekatannya saat ini, sepertinya tak ada yang menyangka bahwa di masa mudanya muballigh yang satu ini pernah sangat menggandrungi dan mendalami paham Wahhabi. Ia pernah sangat lekat dengan pemikiran islam ala A. Hassan Bandung, pendiri Persatuan Islam (Persis), bahkan ikut aktif mengajarkan Islam bercorak kanan itu kepada murid-murid cilik yang memadati pengajiannya.
Namun pencarian tak kenal lelah sang dai akhirnya membawa langkah kakinya kembali ke fitrah kebetawiannya, sebagai muslim tradisionalis dan penganut thariqah shufiyyah. Siapakah dia? Tak lain, dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., muballigh kondang ibukota yang asli Betawi, yang juga pemimpin RADIX Training Center, pusat pelatihan dakwah.
Dikunjungi alkisah suatu siang di rumah yang sekaligus menjadi kantornya yang terletak tak jauh dari Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, Ust. Wahfiudin tampak baru saja menunaikan shalat Dzuhur berjamaah bersama beberapa karyawannya. Setelah usai melantunkan dzikir rutin seusai shalat, sang Ustadz tidak segera beranjak dari duduknya. Dari bibirnya mengalun kalimah tauhid yang diucapkan dengan nada memanjang “laa…ilaa…ha illallaah…” sebanyak tiga kali, sambil diikuti oleh jamaahnya. Tak lama kemudian dari sudut kantor mungil itu kalimat tahlil kembali mengalun ratusan kali dengan irama yang lebih cepat, khas dzikir thariqah ala Suryalaya.
Selain digunakan untuk aktivitas perkantoran lembaga pengembangan sumber daya manusia RADIX Training Center dan perawakilan Dompet Dhuafa Rawamgun, pada waktu-waktu tertentu rumah Ust. Wahfiudin juga dijadikan majlis dzikir thariqah. Sungguh pemandangan unik di salah satu sudut perkantoran kota metropolitan.Tadarrus “Gila-gilaan”Lahir di Kampung Lima (kini jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, Wahfiudin adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya Sakam Bahrum, seorang tukang pos keliling. Sementara ibunya, Aminah, membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit pakaian di rumah. Saat usianya dua tahun, keluarga Wahfiudin pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga bocah itu dewasa dan menikah pada tahun 1986. Baru pada tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun hingga saaat ini.
Seluruh keluarga Wahfiudin adalah aktivis pengajian. Saat kecil ia sering diajak nenek dan ibunya mengikuti pengajian Minggu pagi di Majelis Ta’lim Asy-Syafi’iyyah, Bali Matraman yang diasuh oleh ulama besar KH. Abdullah Syafi’i. Dan ketika duduk di kelas empat SD, setiap minggu ia menemani neneknya berjalan kaki dari setiabudi ke Bali Matraman melalui daerah Kampung Kuningan, yang waktu itu masih berupa perkebunan dan dipenuhi empang-empang.
Hebatnya, meski masih keci, setiap kali duduk di majlis ta’lim, Wahfiudin hanya mau duduk di barisan terdepan. “Jika duduk di barisan kedua dan seterusnya, saya merasa sering terganggu oleh gerakan orang-orang di depan saya, dan saya jadi nggak konsentrasi mendengarkan ceramah Kiai,” katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. “Buat apa jauh-jauh berjalan kaki kalau sampai di sini nggak bisa menyerap ilmu dengan maksimal karena duduk di belakang,” katanya saat itu.
Sejak mengetahui pengajian KH Abdullah Syafi’i itulah ia mulai ngefans berat dengan sang mu’allim dan beberapa ulama besar lain yang sering hadir di majlis KH Abudllah Syafi’i. Melalui majlis itu ia juga mulai merasakan ketertarikan terhadap dunia dakwah dan bercita-cita menjadi seorang dai.
Sejak SD, Wahfiudin juga sudah mulai ikut-ikutan belajar mengaji Al-Qur’an di rumah beberapa ustadz di kampungnya. Tapi baru setelah duduk di bangku SMP dan diajari langsung oleh ayahnya, ia bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Saking senangnya, waktu masuk bulan Ramadhan, ia membaca Al-Qur’an (tadarrus) secara ‘gila-gilaan’. Betapa tidak, dalam sebulan ia mampu mengkhatamkan Al Qur’an tiga kali.
Uniknya, meski bercita-cita menjadi juru dakwah, Wahfiudin tidak pernah sekalipun sekolah di madrasah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Setiabudi, kemudian melanjutkan di SMPN 57. Di kedua jenjang sekolah itu prestasi akademinsya terbilang bagus. Ia sering menyabet peringkat tiga besar di kelasnya. Karena itu, ketika memasuki tahun terakhir di SMP, ia bercita-cita akan mendaftarke beberapa SMA di negeri favorit di ibu kota.
Berpikir ala PERSISNamun alangkah terkejutnya ketika suatu hari ayahnya memanggil dia dan berkata, ”Nak, SMA itu dirancang untuk anak-anak yang akan kuliah. Sedangkan bapakmu yang cuma pegawai kantor pos rendahan ini nggak akan kuat membiayai kamu kuliah. Apalagi adik-adikmu masih banyak. Karena itu kamu masuk sekolah kejuruan saja ya, nak. Biar nantinya lekas dapat kerja.”
Meski hatinya hancur, Wahfiudin menuruti keinginan orangtuanya, “Sedih juga,” kenangnya. “Apalagi kalau melihat teman-teman yang prestasinya jauh di bawah saya bisa bersekolah di SMA-SMA negeri favorit, seperti SMAN 3 Jakarta”.
Saat memutuskan masuk sekolah kejuruan, Wahfiudin, yang berpembawaan tenang, sempat kebingungan juga. “Mau masuk STM, saya takut terlibat perkelahian antar pelajar. Mau masuk SMEA, saya malu, karena kebanyakan muridnya perempuan. Akhirnya ia mendaftar di STM Penerbangan, Kebayoran.
Namun, saat di STM, Wahfiudin sering merasa jenuh di kelas dan memilih membolos, lalu nongkrong di perpustakaan DKI di Kuningan. Belakangan ia menyalurkan kejenuhannya dengan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII ini ghirah berdakwahnya yang sempat terpatri saat kecil kembali tergali.
Kebetulan tahun-tahun itu (1978) di kalangan aktivis PII sedang nge-trend mengikuti LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Bandung yang dipelopori Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim). Sebenarnya pelatihan itu khusus untuk level mahasiswa. Tapi karena Wahfiudin ngotot, akhirnya senior-seniornya di PII memberinya rekomendasi untuk mengikuti LMD.
“LMD memberi saya wawasan ilmu agama yang rasional dan ilmiah,” katanya. Sejak usai mengikuti LMD, ia juga bertekad untuk menjadi muslim yang baik dan menguasi minimal dua bahasa asing sebagai modal dakwah.
Obyek dakwah pertamanya adalah tetangga-tetangga di lingkungan rumahnya. Wahfiudin prihatin melihat banyak remaja dan pemuda di kampungnya yang terjerumus dalam minuman keras. Namun karena sebaya, setiap kali ia mengingatkan mereka, Wahfiudin selalu dilecehkan.
Karena “putus asa” menghadapi yang besar, Wahfiudin lalu mengubah strategi dakwahnya dengan mendekati anak-anak kecil. Kepada orangtua-orangtua mereka ia meyakinkan, harus dilakukan pemotongan generasi untuk menghindari penularan kebiasaan buruk remaja kampung itu kepada anak-anak kecilnya. Ia pun meminta izin kepada mereka untuk mengumpulkan anak-anak mereka buat belajar membaca Al Qur’an sambil sedikit-sedikit disisipi dengan nasihat akhlaq.
Ternyata tanggapan mereka sangat positif. Bahkan salah seorang tetangga Wahfiudin menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Untuk memperkaya wawasan keagamaanya, ia sering berkonsultasi ke Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Staf Dewan Dakwah yang sering membimbingnya waktu itu antara lain Ustadz Fauzi Agustjik dan Ustadz Syuhada Bahri.
Tak hanya diberi mentoring dakwah, Wahfiudin juga sering mendapat buku-buku bacaan agama. “Tapi kebanyakan buku karya A. Hassan, tokoh Persis Bandung. Karenanya waktu itu pola pikir saya ala Persis banget. Ini Al Qur’annya, ini haditsnya, lain dari ini salah. Pokoknya jebret…jebret!” katanya sambil memperagakan gerakan silat.
Lama kelamaan pengajiannya semakin besar, sehingga kelompok pengajiannya harus dipecah jadi dua kelompok. Hingga tahun berikutnya, murid pengajiannya telah menjadi 24 kelompok, dan murid senior sudah mulai membantu mengajari adik-adik kelasnya. “Waktu itu belum ada model Taman Pendidikan Al Qur’an seperti sekarang. Alhamdulillah lama kelamaan banyak anak remaja yang juga ikut bergabung, “ kenang Wahfiudin.
Tak hanya di rumah, di sekolahnya ia juga mempelopori pelaksanaan shalat Jum’at di aula yang difungsikan sebagai masjid. Untuk mengadakan peralatan dan perlengkapannya, seperti tikar, mimbar, sound system dan honorarium khatib, Wahfiudin mengajak temang-temannya menggalang dana dari para donatur. “Yang paling banyak membantu saya dan teman-teman waktu itu adalah Yayasan Lampu Iman, yang dipimpin Bapak H.M. Dault (ayahanda Bapak Adhyaksa Dault, Menpora saat ini),” kisahnya.
Shalat Jum’at pertama digelar 35 jamaah dan H.M. Dault bertindak sebagai khatib dan imam. Meski berawal 35 jamaah, lama-kelamaan jum’atan itu semakin ramai oleh karyawan perkantoran di sekitar sekolahnya.Khatib PenggantiTerkait Shalat Jum’at di sekolah ini, ada sebuah pengalaman pahit tapi sangat berharga bagi Wahfiudin. Suatu ketika, khatib yang ditunggu-tunggu jamaah tidak datang. Jamaah mulai gelisah. Parahnya saat mengetahui khatib tidak hadir, pukul setengah satu guru agama sekolah itu pergi ke masjid lain. Akhirnya shalat Jum’at hari itu dibatalkan dan diganti shalat Dzuhur berjamaah dengan Wahfiudin sebagai imamnya.
Beberapa waktu kemudian peristiwa itu kembali terulang. Pengalaman itu memacunya mulai belajar berkhutbah secara otodidak. Dan ketika suatu saat seorang khatib berhalangan hadir, ia memberanikan diri menyampaikan khutbah Jum’at dengan bekal buku kumpulankhutbah yang dibelinya di Pasar Blok M.
“Waktu turun dari mimbar, saya merasa lega banget. Wah… ternyata khutbah Jum’at itu tidak sulit, asal kita mengetahui syarat dan rukunnya,” kenang Wahfiudin sambil terkekeh. Sejak itu, setiap kali ada khatib yang berhalangan hadir di sekolahnya, Wahfiudin-lah yang selalu tampil menggantikan.
Selepas STM, semangatnya mendalami agama Islam dan khususnya bahasa Arab dan Inggris semakin menggebu. Dari keterangan beberapa ustadz pembimbingnya, ia mendengar kehebatan pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam membekali santri-santrinya dengan dua bahasa Internasional itu. Dengan modal nekat, Wahfiudin lalu pergi ke Ponorogo dan mendaftarkan diri di Pesantren Gontor.
Menaati Ucapan KiaiMeski lulus tes, tak urung keikutsertaan Wahfiudin yang sudah lulus STM membuat panitia penerimaan santri baru kebingungan menempatkannya. Akhirnya ia dihadapkan kepada pengasuh Gontor waktu itu, K.H. Imam Zarkasyi, yang segera menanyainya, “Kamu sudah lulus STM, ngapain masuk Gontor?”
“Saya mau mendalami agama sekaligus bahasa Arab,” jawab Wahfiudin lugu. “Tapi di sini kamu akan dimasukkan ke kelas eksperimen dan diberlakukan seperti anak kelas satu SMP. Sayang sekali jika waktu kamu habis terbuang disini,” kata sang Kiai.
Melihat kesungguhan Wahfiudin, Kiai Imam Zarkasyi lalu menyarankan, ”Jika ingin mendalami bahasa Arab, lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan mendaftar ke Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA, kini LIPIA), yang baru saja dibentuk oleh Universitas Ibnu Saud Riyadh. Karena milik pemerintah Saudi, jadi full beasiswa.”
Dengan semangat baru, Wahfiudin pun kembali ke Jakarta dan mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus LPBA, yang waktu itu terletak di Jalan Raden Saleh. Ternyata pendaftarnya ribuan, sementara kursi yang tersedia hanya seratus delapan puluh.
Melihat saingannya rata-rata alumnus pesantren dan madrasah aliyah, tak urung Wahfiudin grogi juga. Tapi akhirnya ia berhasil menembus seleksi.
Kuliah di LPBA, selain membuat Wahfiudin menikmati fasilitas belajar yang terbilang mewah, juga membuatnya cukup berlimpah uang. Betapa tidak, waktu itu ongkos naik bus masih Rp 250, saya sudah mendapat beasiswa sebesar Rp 180 ribu per semester, “kenangnya.
Karena itu, ketika jadwal kuliahnya sudah tidak terlalu padat, ia mendaftar di Akademi Teknik Komputer (ATK, belakangan jadi Bina Nusantara). Jadilah Wahfiudin kuliah ganda, pagi di LPBA dan sorenya di ATK.
Di semester keenamnya di LPBA ia mendapat tawaran kerja dari senior HMI-nya di Rabithah Alam Islami, sebagai asisten Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tentu saja tawaran itu tidak ia sia-siakan, meskipun harus mengorbankan pendidikannya di LPBA.
Karena hanya menekankan hafalanKetika ia berpamitan kepada dosen-dosenya di LPBA, ustadz Mamduh (kini doktor) dosen yang paling dekat dengannya, menyesalkan keputusannya keluar dari LPBA. “Kalau saja kamu mau bersabar sedikit, beberapa bulan lagi kamu lulus dari LPBA dan kamu beserta lulusan terbaik lainnya akan dikirim untuk meneruskan pendidikan di Saudi, “kata sang Ustadz.
Tak hanya itu, Ustadz Mamduh juga menunjukkan daftar mahasiswa yang rencananya akan langsung diberangkatkan ke Saudi selepas ujian terakhir di LPBA. Dan benar, nama Wahfiudin ada dalam daftar tersebut, “Sebenarnya ini rahasia, tapi nggak apa-apalah saya tunjukkan ke kamu,” ujarnya.
Hati Wahfiudin sangat gamang. Ia pun bertanya kepada ustadznya, jurusan apa saja yang bisa ia ambil. “Kamu bisa kuliah di Fakultas Bahasa Arab, Tarbiyah, Syariah atau Ushuluddin,”jawab sang ustadz.
Wahfiudin menggeleng, “Saya mau ngambil jurusan teknik perminyakan atau sosiologi, “kata Wahfiudin lagi.
“Jurusan-jurusan itu hanya untuk kalangan-kalangan tertentu. Jangankan orang dari luar, warga Saudi sendiri tidak semuanya bisa kuliah di sana, “jawab ustadznya.
“Kalau begitu saya lebih baik keluar. Buat apa jauh-jauh ke Saudi hanya untuk belajar ilmu agama. Kalau mau ilmu agama, saya lebih baik belajar di Indonesia saja. Saya bisa masuk IAIN atau pesantren, “kata Wahfiudin tegas.
Sang ustadz, yang asli Mesir dan staf kedutaan yang mendampinginya terperangah, “Kenapa begitu?” tanya sang ustadz.
“Tentu saja. Sistem pendidikan agama di Saudi kan hanya menekankan pada hafalan Al-Qur’an dan hadits, tetapi tidak mendidik mahasiswanya untuk berfikir. Kami tidak diajari untuk menelaan masalah, tidak memperluas wawasan,”jawab Wahfiudin. “Kayaknya belajar di sana itu semua mahasiswanya dibilangin, ‘Kau hafalkan dalil-dalil ini, semua yang berbeda dengan ini adalah bid’ah, syirik, khurafat!” ceritanya kepada alkisah.
Ustadz Mamduh menengok koleganya yang orang Saudi asli.
Ternyata sang diplomat tidak marah. Dengan anggukan mafhum, ia berkata, “Yah itulah kelemahan sistem pendidikan kami.”
Akhirnya jadilah ia bekerja di Rabithah. Tugasnya mengkoordinir dai-dai yang direkrut Rabithah untuk diterjunkan ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Setiap ada surat konsultasi dari dai di daerah kepada Profesor Rasjidi, dialah yang ditugasi menjawabnya. Perlahan wawasannya semakin bertambah luas. Dakwah Go PublicSeiring dengan itu dakwah Wahfiudin juga mulai diterima masyarakat, terutama masyarakat perkantoran. Pada tahun 1983, ia sering berceramah di pengajian ba’da Dzuhur dan pengajian after office (usai jam kerja) yang saat itu cukup membudaya di perkantoran Jakarta. Dari jaringan perkantoran itu juga ia sering diundang berceramah ke kantor-kantor cabang di luar kota, bahkan hingga luar jawa.
Tahun 1995, seiring dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta, dakwah Ustadz Wahfiudin pun mulai merambah ke layar kaca. Dimulai dengan kuliah tujuh menit menjelang berbuka, lalu di acara pengajian-pengajian waktu sahur di TPI. Sejak itulah ustadz Wahfiudin mujlai go public dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.
Berkah lainnya, ia juga mendapat undangan dari luar negeri. Dimulai dari Jerman, lalu Perancis, Malaysia, Amerika dan seterusnya.
Dakwah di negeri asing juga memperkenalkannya dengan tokoh ulama dunia, sperti Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika. Bahkan, belakangan Syaikh Hisham mengundangnya selama tiga bulan ke negeri Paman Sam untuk menghadiri seminar tasawuf sekaligus mengikuti safari dakwah.
Ihwal kedekatannya dengan dunia thariqah, Kiai Wahfiudin mengaku, bermula pada tahun 1988, saat ia merasakan kekeringan dalam keberagamaannya yang menganut faham Wahhabi. “Sebab faham Wahhabi cenderung menafsirkan segala sesuatu secara harfiah atau tekstual saja,” katanya.
Kiai muda itu pun mulai membuka-buka kembali buku-buku islam tradisional, yang lebih dinamis dan terbuka terhadap pemikiran madzhab, filsafat dan tasawuf. “Keislaman saya perlahan terasa segar kembali dan lebih arif dalam menyikapi segala sesuatu.”
Sejak itu ia merasa, langkahnya terus dibimbing mendekat kepada ulama-ulama besar kalangan tradisionalis. Tahun 1995, misalnya ia mendapat kesempatan mengantar seorang teman muslim dari Jerman berkunjung ke Pesantren Suryalaya dan berjumpa dengan Abah Anom. Setelah melalui serangkaian dialog dengan sang mursyid, Kiai Wahfiudin ditalqin dzikir dan dibay’at masuk Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Setelah itu berturut-turut ia berjumpa dengan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang memeluknya erat-erat sebelum memberikan khirqah, di Makkah, pada musim haji tahun 1996. Lalu dengan Syaikh Hisham Kabbani di Amerika pada akhir tahun 1997, yang kemudian menawarinya menjadi perwakilannya di Indonesia.
Tak hanya itu kesungguhan Kiai Wahfiudin berthariqah belakangan mendapat pengakuan dari guru mursyidnya. Pada tahun 1998, ketika ia tengah berada di Amerika, Abah Anom mengangkatnya menjadi salah seorang wakil talqinnya.
Meski kelihatannya singkat, hanya dua tahun setelah Kiai Wahfiudin pertama kali di talqin dzikir, proses pengangkatannya menjadi wakil talqin melalui proses yang cukup berliku.
Selesai dibay’at, ia keluar dari rumah Abah Anom, ia memborong buku-buku di toko buku Suryalaya dan membacanya di rumah sepanjang tahun itu. Ia berharap akan mendapat banyak ilmu dan pencerahan spiritual dari buku-buku tersebut.
“Sebagai mantan pengikut Wahhabi, saya berusaha mengkunyah-kunyah ajaran tasawuf itu dengan pendekatan rasional dan teoritis,”katanya.
Pencerahan SejatiHasilnya, ia memang mendapat banyak ilmu yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dan pentingnya thariqah dalam kehidupan beragama. Namun di sisi lain ia merasa, semua bacaannya belum memberinya tambahan ‘nilai’ dalam qalbunya.
Suami Hj. Rachmajanti dan ayah lima anak itu penasaran. Setahun setelah dibay’at, Pesantren Suryalaya mengadakan Pelatihan Muballigh Tarekat. Dengan penuh harapan, ia pun mendaftar. Namun lagi-lagi ia merasa semua materi pelatihan yang diberikan selama empat hari itu tidak memberinya tambahan ilmu. “Semua yang dismpaikan sudah saya baca di buku-buku yang saya beli,”katanya.
Baru setelah sampai di rumah dan menunaikan shalat lalu berdzikir, ia tersadar. Meski sepertinya tidak mendapatkan tambahan ilmu, ia merasakan ada perubahan medasar dalam hatinya. Ia merasakan ada ‘sesuatu’ yang menggetarkan qalbunya. Lalu ia merenung, mencerna apa yang tengah dialaminya…
“Akhirnya saya baru sadar, selama ini saya hanya membaca dan membaca ilmu thariqah. Tapi tak sekali pun dzikirnya saya amalkan. Saya kelewat bersemagat mencoba mencernanya dengan otak dan logika. Tetapi selama empat hari mengikuti pelatihan saya diajak mengamalkan dzikirnya secara konsisten setia habis shalat fadhu dan sunnah, “ katanya dengan pandangan berbinar.
Ternyata thariqah itu memang untuk diamalkan, kata Wahfiudin, bukannya sekadar dikaji, dibaca atau didiskusikan. “Membaca atau mendiskusikan thariqah tidak akan menambah nilai apa pun dalam spiritualitas kita. Tapi dengan mengamalknnya secara istiqomah, kita akan mengalami perjalanan spiritual dan satu persatu hijab qalbu kita akan terbuka. Saat itulah pengetahuan sejati akan berdatangan dengan sendirinya,” ujarnya.
Sejak itu, seperti mendendam, semua buku thariqah itu ia masukkan lemari dan ia kunci. Kali itu Wahfiudin mencoba lebih memahami thariqah dengan mempraktekkan dan mempraktekkan.
“Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian terbukti. Pengetahuan dan pengamalan spiritual yang saya dapatkan melalui pengamalan itu ternyata jauh lebih banyak daripada semua buku yang saya baca,” katanya.
Kedekatannya dengan Abah Anom juga memberinya pengalaman spiritual menarik. Wahfiudin yakin, dengan keistiqomahannya dalam beribadah dan membimbing umat, Abah Anom adalah salah seorang waliyullah. Baginya, seorang wali adalah orang yang di dalam dirinya terdapat minimal empat hal: 1. Ketekunan dalam beribadah2. Akhlaq yang mulia3. Kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya, dan4. Karomah
Mengenai kriteria yang ketiga, ia pernah memiliki kisah menarik. Suatu hari salah seorang jamaahnya berpamitan padanya untuk pindah mengikuti tarekat lain. Alasannya karena teman-temannya yang mengikuti tarekat lain tersebut banyak yang mendapat pengalaman luar biasa dan kesaktian.
Dengan ringan, Wahfiudin mengatakan, “Silakan…!”
Beberapa bulan kemudian , orang itu datang lagi dan menyatakan kapok, karena tarekat dan mursyid barunya itu tak seperti yang ia bayangkan. Ia ingin kembali kepada Thariqah Qadiriyyah wa Nagsyabandiyyah yang diasuh Abah Anom.
Lagi-lagi sang Wakil Talqin mengatakan, “Silakan…!”Orang itu lalu menanyakan mengapa dulu Ustadz Wahfiudin mengizinkannya pindah tarekat. “Alasannya dua,” kata sang ustadz, “Pertama, karena kamu sedang gandrung dengan ilmu kesaktian. Saya larang pun, kamu akan tetap mencari-cari cara untuk mempelajarinya. Kedua, saya juga ingin tahu seberapa tinggi tingkatan guru mursyid barumu itu.”“Seorang yang juga wali seperti Abah Anom mempunyai kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya…”Demikianlah K.H. Wahfiudin. Bisa dibilang, ia termasuk orang yang beruntung, karena mendapat kesempatan belajar dari pengalamannya yang luas malang melintang, melintasi beragam sisi keberagamaan. Meski begitu, ia masih belum merasa puas. Ada satu hal menurutnya hingga kini belum ia raih, yakni istiqomah dan ikhlas dalam beribadah. Luar biasa…
Hasil wawancara wartawan majalah alkisah Ali Yahya kepada KH. Wahfiudin, SE, MBA, Mei 2008Dimuat dalam majalah alkisah No. 12/2-15 Juni 2008 halaman 38-47.Ditulis ulang oleh Handri Ramadian asisten KH. Wahfiudin, SE, MBA.
PANGERSA ABAH TERIMA GELAR
POLISI KEHORMATAN
POLISI KEHORMATAN
Karena tak kuasa menahan tangis, KAPOLWIL (Kepala Kepolisian Wilayah) Priangan yang baru, Drs. Anton Charliyan, MPKN terlihat menyeka kedua matanya sambil mengamini ketika Pangersa Abah Anom berdo'a untuknya. "Ini Kapolwil Baru, Bah. Mohon dido'akan supaya diberi kelancaran dan keselamatan dalam melaksanakan tugas", kata KH. Zaenal Abidin Anwar. Anton tiba di Suryalaya pukul 10.30 WIB. Sejak pagi, Pangersa Abah sudah duduk di kursinya di Madrasah ditemani Umi untuk menyambut kedatangan tamu-tamu ini. Sementara itu, 2 dari 3 orang Pengemban Amanah Sesepuh, KH. Zaenal Abidin Anwar dan H. Dudun Noor Saiduddin Ar. (Putera tertua Abah) serta Sekretaris Pribadi Abah, H. Baban Ahmad Jihad S.B. Ar. (putera Abah juga) berbincang-bincang dengan beberapa orang pejabat di jajaran Kapolres Tasikmalaya dan Kapolsek Pagerageung yang sudah tiba di Suryalaya sekitar pukul 10.00 WIB.
Usai menyampaikan kata-kata sambutan, KH. Zaenal Abidin Anwar mempersilahkan Kapolwil untuk menyampaikan maksud dan kedatangannya. "Saya hanya ingin bersilaturahmi dan memohon do'a kepada Abah sehubungan dengan tugas saya yang baru", kata Kombes Pol. Drs. Anton Charliyan, memulai sambutannya. Seisi Madrasah dibuatnya tertegun setelah Anton memberitahu bahwa dia adalah asli dari Panumbangan. Panumbangan adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis yang berjarak hanya beberapa km saja dari Suryalaya. Kedua tempat ini dipisahkan oleh Sungai Citanduy yang membatasi Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Melihat kiprah Suryalaya dalam menanggulangi para korban penyalahgunaan Narkotika dan kenakalan remaja, Kapolwil memberikan gelar kehormatan berupa Honorary Police (Polisi Kehormatan) kepada Pangersa Abah. "Mohon maaf, Abah, saya ingin memasangkan topi ini untuk Abah", kata Anton yang tadinya terlihat tidak berani tapi kemudian diizinkan oleh H. Baban, "Silahkan pak, laksanakan, ini tugas Bapak". Selain Abah, Kapolwil juga memberikan Piagam Penghargaan kepada 3 orang Pengemban Amanah Sesepuh dan Sekretaris Pribadi Sesepuh. Dalam piagam penghargaan itu disebutkan bahwa mereka telah berperan serta ikut sebagai pelopor menciptakan situasi Kamtibmas yang kondusif di wilayah Priangan. Sambil istirahat, pesantren menyiapkan jamuan makan siang. Usai melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah, rombongan kemudian meninggalkan Suryalaya.
Langkah dakwahnya telah dimulai sejak duduk di bangku STM. Sempat tergila-gila dengan paham Wahhabi, tapi akhirnya muballigh yang satu ini kembali ke jalur asalnya, Islam tradisional. Bahkan kini ia mendalami tasawuf dan thariqah.
Siapa yang tak kenal dengan muballigh yang satu ini. Wajahnya yang teduh kerap menghiasi layar kaca di rumah kita dalam acara santapan ruhani, dialog religi, atau pengantar berbuka puasa. Gaya bicaranya yang mantap dan materi ceramahnya yang sarat nilai-nilai tasawuf, meski tetap dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikan tamu kita yang satu ini segera merebut perhatian jutaan umat Islam di tanah air.
Sejak penghujung dasawarsa ’70-an ia telah mulai berdakwah, dimulai dari lingkungan tetangga dan teman-teman sekolahnya. Pertengahan era tahun ’80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, bahkan hingga lintas negara. Beberapa Negara seperti Jerman dan Perancis di Eropa, Jepang Singapura, Thailand, Brunei dan Malaysia di Asia, Australia hingga benua Amerika pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.
Kiprah kemuballighannya tentu tak diragukan lagi, namun tak banyak yang tahu bahwa dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat. Bahkan ia adalah salah satu Wakil Talqin K.H. Ahmad Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin alias Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. “Wakil Talqin” adalah istilah untuk badal (asisten) guru mursyid dalam Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin ulama sepuh yang lahir pada 1 Januari 1915 itu.
Dan, jika melihat aktivitas ketarekatannya saat ini, sepertinya tak ada yang menyangka bahwa di masa mudanya muballigh yang satu ini pernah sangat menggandrungi dan mendalami paham Wahhabi. Ia pernah sangat lekat dengan pemikiran islam ala A. Hassan Bandung, pendiri Persatuan Islam (Persis), bahkan ikut aktif mengajarkan Islam bercorak kanan itu kepada murid-murid cilik yang memadati pengajiannya.
Namun pencarian tak kenal lelah sang dai akhirnya membawa langkah kakinya kembali ke fitrah kebetawiannya, sebagai muslim tradisionalis dan penganut thariqah shufiyyah. Siapakah dia? Tak lain, dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., muballigh kondang ibukota yang asli Betawi, yang juga pemimpin RADIX Training Center, pusat pelatihan dakwah.
Dikunjungi alkisah suatu siang di rumah yang sekaligus menjadi kantornya yang terletak tak jauh dari Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, Ust. Wahfiudin tampak baru saja menunaikan shalat Dzuhur berjamaah bersama beberapa karyawannya. Setelah usai melantunkan dzikir rutin seusai shalat, sang Ustadz tidak segera beranjak dari duduknya. Dari bibirnya mengalun kalimah tauhid yang diucapkan dengan nada memanjang “laa…ilaa…ha illallaah…” sebanyak tiga kali, sambil diikuti oleh jamaahnya. Tak lama kemudian dari sudut kantor mungil itu kalimat tahlil kembali mengalun ratusan kali dengan irama yang lebih cepat, khas dzikir thariqah ala Suryalaya.
Selain digunakan untuk aktivitas perkantoran lembaga pengembangan sumber daya manusia RADIX Training Center dan perawakilan Dompet Dhuafa Rawamgun, pada waktu-waktu tertentu rumah Ust. Wahfiudin juga dijadikan majlis dzikir thariqah. Sungguh pemandangan unik di salah satu sudut perkantoran kota metropolitan.
Tadarrus “Gila-gilaan”
Lahir di Kampung Lima (kini jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, Wahfiudin adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya Sakam Bahrum, seorang tukang pos keliling. Sementara ibunya, Aminah, membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit pakaian di rumah. Saat usianya dua tahun, keluarga Wahfiudin pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga bocah itu dewasa dan menikah pada tahun 1986. Baru pada tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun hingga saaat ini.
Seluruh keluarga Wahfiudin adalah aktivis pengajian. Saat kecil ia sering diajak nenek dan ibunya mengikuti pengajian Minggu pagi di Majelis Ta’lim Asy-Syafi’iyyah, Bali Matraman yang diasuh oleh ulama besar KH. Abdullah Syafi’i. Dan ketika duduk di kelas empat SD, setiap minggu ia menemani neneknya berjalan kaki dari setiabudi ke Bali Matraman melalui daerah Kampung Kuningan, yang waktu itu masih berupa perkebunan dan dipenuhi empang-empang.
Hebatnya, meski masih keci, setiap kali duduk di majlis ta’lim, Wahfiudin hanya mau duduk di barisan terdepan. “Jika duduk di barisan kedua dan seterusnya, saya merasa sering terganggu oleh gerakan orang-orang di depan saya, dan saya jadi nggak konsentrasi mendengarkan ceramah Kiai,” katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. “Buat apa jauh-jauh berjalan kaki kalau sampai di sini nggak bisa menyerap ilmu dengan maksimal karena duduk di belakang,” katanya saat itu.
Sejak mengetahui pengajian KH Abdullah Syafi’i itulah ia mulai ngefans berat dengan sang mu’allim dan beberapa ulama besar lain yang sering hadir di majlis KH Abudllah Syafi’i. Melalui majlis itu ia juga mulai merasakan ketertarikan terhadap dunia dakwah dan bercita-cita menjadi seorang dai.
Sejak SD, Wahfiudin juga sudah mulai ikut-ikutan belajar mengaji Al-Qur’an di rumah beberapa ustadz di kampungnya. Tapi baru setelah duduk di bangku SMP dan diajari langsung oleh ayahnya, ia bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Saking senangnya, waktu masuk bulan Ramadhan, ia membaca Al-Qur’an (tadarrus) secara ‘gila-gilaan’. Betapa tidak, dalam sebulan ia mampu mengkhatamkan Al Qur’an tiga kali.
Uniknya, meski bercita-cita menjadi juru dakwah, Wahfiudin tidak pernah sekalipun sekolah di madrasah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Setiabudi, kemudian melanjutkan di SMPN 57. Di kedua jenjang sekolah itu prestasi akademinsya terbilang bagus. Ia sering menyabet peringkat tiga besar di kelasnya. Karena itu, ketika memasuki tahun terakhir di SMP, ia bercita-cita akan mendaftarke beberapa SMA di negeri favorit di ibu kota.
Berpikir ala PERSIS
Namun alangkah terkejutnya ketika suatu hari ayahnya memanggil dia dan berkata, ”Nak, SMA itu dirancang untuk anak-anak yang akan kuliah. Sedangkan bapakmu yang cuma pegawai kantor pos rendahan ini nggak akan kuat membiayai kamu kuliah. Apalagi adik-adikmu masih banyak. Karena itu kamu masuk sekolah kejuruan saja ya, nak. Biar nantinya lekas dapat kerja.”
Meski hatinya hancur, Wahfiudin menuruti keinginan orangtuanya, “Sedih juga,” kenangnya. “Apalagi kalau melihat teman-teman yang prestasinya jauh di bawah saya bisa bersekolah di SMA-SMA negeri favorit, seperti SMAN 3 Jakarta”.
Saat memutuskan masuk sekolah kejuruan, Wahfiudin, yang berpembawaan tenang, sempat kebingungan juga. “Mau masuk STM, saya takut terlibat perkelahian antar pelajar. Mau masuk SMEA, saya malu, karena kebanyakan muridnya perempuan. Akhirnya ia mendaftar di STM Penerbangan, Kebayoran.
Namun, saat di STM, Wahfiudin sering merasa jenuh di kelas dan memilih membolos, lalu nongkrong di perpustakaan DKI di Kuningan. Belakangan ia menyalurkan kejenuhannya dengan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII ini ghirah berdakwahnya yang sempat terpatri saat kecil kembali tergali.
Kebetulan tahun-tahun itu (1978) di kalangan aktivis PII sedang nge-trend mengikuti LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Bandung yang dipelopori Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim). Sebenarnya pelatihan itu khusus untuk level mahasiswa. Tapi karena Wahfiudin ngotot, akhirnya senior-seniornya di PII memberinya rekomendasi untuk mengikuti LMD.
“LMD memberi saya wawasan ilmu agama yang rasional dan ilmiah,” katanya. Sejak usai mengikuti LMD, ia juga bertekad untuk menjadi muslim yang baik dan menguasi minimal dua bahasa asing sebagai modal dakwah.
Obyek dakwah pertamanya adalah tetangga-tetangga di lingkungan rumahnya. Wahfiudin prihatin melihat banyak remaja dan pemuda di kampungnya yang terjerumus dalam minuman keras. Namun karena sebaya, setiap kali ia mengingatkan mereka, Wahfiudin selalu dilecehkan.
Karena “putus asa” menghadapi yang besar, Wahfiudin lalu mengubah strategi dakwahnya dengan mendekati anak-anak kecil. Kepada orangtua-orangtua mereka ia meyakinkan, harus dilakukan pemotongan generasi untuk menghindari penularan kebiasaan buruk remaja kampung itu kepada anak-anak kecilnya. Ia pun meminta izin kepada mereka untuk mengumpulkan anak-anak mereka buat belajar membaca Al Qur’an sambil sedikit-sedikit disisipi dengan nasihat akhlaq.
Ternyata tanggapan mereka sangat positif. Bahkan salah seorang tetangga Wahfiudin menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Untuk memperkaya wawasan keagamaanya, ia sering berkonsultasi ke Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Staf Dewan Dakwah yang sering membimbingnya waktu itu antara lain Ustadz Fauzi Agustjik dan Ustadz Syuhada Bahri.
Tak hanya diberi mentoring dakwah, Wahfiudin juga sering mendapat buku-buku bacaan agama. “Tapi kebanyakan buku karya A. Hassan, tokoh Persis Bandung. Karenanya waktu itu pola pikir saya ala Persis banget. Ini Al Qur’annya, ini haditsnya, lain dari ini salah. Pokoknya jebret…jebret!” katanya sambil memperagakan gerakan silat.
Lama kelamaan pengajiannya semakin besar, sehingga kelompok pengajiannya harus dipecah jadi dua kelompok. Hingga tahun berikutnya, murid pengajiannya telah menjadi 24 kelompok, dan murid senior sudah mulai membantu mengajari adik-adik kelasnya. “Waktu itu belum ada model Taman Pendidikan Al Qur’an seperti sekarang. Alhamdulillah lama kelamaan banyak anak remaja yang juga ikut bergabung, “ kenang Wahfiudin.
Tak hanya di rumah, di sekolahnya ia juga mempelopori pelaksanaan shalat Jum’at di aula yang difungsikan sebagai masjid. Untuk mengadakan peralatan dan perlengkapannya, seperti tikar, mimbar, sound system dan honorarium khatib, Wahfiudin mengajak temang-temannya menggalang dana dari para donatur. “Yang paling banyak membantu saya dan teman-teman waktu itu adalah Yayasan Lampu Iman, yang dipimpin Bapak H.M. Dault (ayahanda Bapak Adhyaksa Dault, Menpora saat ini),” kisahnya.
Shalat Jum’at pertama digelar 35 jamaah dan H.M. Dault bertindak sebagai khatib dan imam. Meski berawal 35 jamaah, lama-kelamaan jum’atan itu semakin ramai oleh karyawan perkantoran di sekitar sekolahnya.
Khatib Pengganti
Terkait Shalat Jum’at di sekolah ini, ada sebuah pengalaman pahit tapi sangat berharga bagi Wahfiudin. Suatu ketika, khatib yang ditunggu-tunggu jamaah tidak datang. Jamaah mulai gelisah. Parahnya saat mengetahui khatib tidak hadir, pukul setengah satu guru agama sekolah itu pergi ke masjid lain. Akhirnya shalat Jum’at hari itu dibatalkan dan diganti shalat Dzuhur berjamaah dengan Wahfiudin sebagai imamnya.
Beberapa waktu kemudian peristiwa itu kembali terulang. Pengalaman itu memacunya mulai belajar berkhutbah secara otodidak. Dan ketika suatu saat seorang khatib berhalangan hadir, ia memberanikan diri menyampaikan khutbah Jum’at dengan bekal buku kumpulankhutbah yang dibelinya di Pasar Blok M.
“Waktu turun dari mimbar, saya merasa lega banget. Wah… ternyata khutbah Jum’at itu tidak sulit, asal kita mengetahui syarat dan rukunnya,” kenang Wahfiudin sambil terkekeh. Sejak itu, setiap kali ada khatib yang berhalangan hadir di sekolahnya, Wahfiudin-lah yang selalu tampil menggantikan.
Selepas STM, semangatnya mendalami agama Islam dan khususnya bahasa Arab dan Inggris semakin menggebu. Dari keterangan beberapa ustadz pembimbingnya, ia mendengar kehebatan pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam membekali santri-santrinya dengan dua bahasa Internasional itu. Dengan modal nekat, Wahfiudin lalu pergi ke Ponorogo dan mendaftarkan diri di Pesantren Gontor.
Menaati Ucapan Kiai
Meski lulus tes, tak urung keikutsertaan Wahfiudin yang sudah lulus STM membuat panitia penerimaan santri baru kebingungan menempatkannya. Akhirnya ia dihadapkan kepada pengasuh Gontor waktu itu, K.H. Imam Zarkasyi, yang segera menanyainya, “Kamu sudah lulus STM, ngapain masuk Gontor?”
“Saya mau mendalami agama sekaligus bahasa Arab,” jawab Wahfiudin lugu.
“Tapi di sini kamu akan dimasukkan ke kelas eksperimen dan diberlakukan seperti anak kelas satu SMP. Sayang sekali jika waktu kamu habis terbuang disini,” kata sang Kiai.
Melihat kesungguhan Wahfiudin, Kiai Imam Zarkasyi lalu menyarankan, ”Jika ingin mendalami bahasa Arab, lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan mendaftar ke Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA, kini LIPIA), yang baru saja dibentuk oleh Universitas Ibnu Saud Riyadh. Karena milik pemerintah Saudi, jadi full beasiswa.”
Dengan semangat baru, Wahfiudin pun kembali ke Jakarta dan mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus LPBA, yang waktu itu terletak di Jalan Raden Saleh. Ternyata pendaftarnya ribuan, sementara kursi yang tersedia hanya seratus delapan puluh.
Melihat saingannya rata-rata alumnus pesantren dan madrasah aliyah, tak urung Wahfiudin grogi juga. Tapi akhirnya ia berhasil menembus seleksi.
Kuliah di LPBA, selain membuat Wahfiudin menikmati fasilitas belajar yang terbilang mewah, juga membuatnya cukup berlimpah uang. Betapa tidak, waktu itu ongkos naik bus masih Rp 250, saya sudah mendapat beasiswa sebesar Rp 180 ribu per semester, “kenangnya.
Karena itu, ketika jadwal kuliahnya sudah tidak terlalu padat, ia mendaftar di Akademi Teknik Komputer (ATK, belakangan jadi Bina Nusantara). Jadilah Wahfiudin kuliah ganda, pagi di LPBA dan sorenya di ATK.
Di semester keenamnya di LPBA ia mendapat tawaran kerja dari senior HMI-nya di Rabithah Alam Islami, sebagai asisten Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tentu saja tawaran itu tidak ia sia-siakan, meskipun harus mengorbankan pendidikannya di LPBA.
Karena hanya menekankan hafalan
Ketika ia berpamitan kepada dosen-dosenya di LPBA, ustadz Mamduh (kini doktor) dosen yang paling dekat dengannya, menyesalkan keputusannya keluar dari LPBA. “Kalau saja kamu mau bersabar sedikit, beberapa bulan lagi kamu lulus dari LPBA dan kamu beserta lulusan terbaik lainnya akan dikirim untuk meneruskan pendidikan di Saudi, “kata sang Ustadz.
Tak hanya itu, Ustadz Mamduh juga menunjukkan daftar mahasiswa yang rencananya akan langsung diberangkatkan ke Saudi selepas ujian terakhir di LPBA. Dan benar, nama Wahfiudin ada dalam daftar tersebut, “Sebenarnya ini rahasia, tapi nggak apa-apalah saya tunjukkan ke kamu,” ujarnya.
Hati Wahfiudin sangat gamang. Ia pun bertanya kepada ustadznya, jurusan apa saja yang bisa ia ambil. “Kamu bisa kuliah di Fakultas Bahasa Arab, Tarbiyah, Syariah atau Ushuluddin,”jawab sang ustadz.
Wahfiudin menggeleng, “Saya mau ngambil jurusan teknik perminyakan atau sosiologi, “kata Wahfiudin lagi.
“Jurusan-jurusan itu hanya untuk kalangan-kalangan tertentu. Jangankan orang dari luar, warga Saudi sendiri tidak semuanya bisa kuliah di sana, “jawab ustadznya.
“Kalau begitu saya lebih baik keluar. Buat apa jauh-jauh ke Saudi hanya untuk belajar ilmu agama. Kalau mau ilmu agama, saya lebih baik belajar di Indonesia saja. Saya bisa masuk IAIN atau pesantren, “kata Wahfiudin tegas.
Sang ustadz, yang asli Mesir dan staf kedutaan yang mendampinginya terperangah, “Kenapa begitu?” tanya sang ustadz.
“Tentu saja. Sistem pendidikan agama di Saudi kan hanya menekankan pada hafalan Al-Qur’an dan hadits, tetapi tidak mendidik mahasiswanya untuk berfikir. Kami tidak diajari untuk menelaan masalah, tidak memperluas wawasan,”jawab Wahfiudin. “Kayaknya belajar di sana itu semua mahasiswanya dibilangin, ‘Kau hafalkan dalil-dalil ini, semua yang berbeda dengan ini adalah bid’ah, syirik, khurafat!” ceritanya kepada alkisah.
Ustadz Mamduh menengok koleganya yang orang Saudi asli.
Ternyata sang diplomat tidak marah. Dengan anggukan mafhum, ia berkata, “Yah itulah kelemahan sistem pendidikan kami.”
Akhirnya jadilah ia bekerja di Rabithah. Tugasnya mengkoordinir dai-dai yang direkrut Rabithah untuk diterjunkan ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Setiap ada surat konsultasi dari dai di daerah kepada Profesor Rasjidi, dialah yang ditugasi menjawabnya. Perlahan wawasannya semakin bertambah luas.
Dakwah Go Public
Seiring dengan itu dakwah Wahfiudin juga mulai diterima masyarakat, terutama masyarakat perkantoran. Pada tahun 1983, ia sering berceramah di pengajian ba’da Dzuhur dan pengajian after office (usai jam kerja) yang saat itu cukup membudaya di perkantoran Jakarta. Dari jaringan perkantoran itu juga ia sering diundang berceramah ke kantor-kantor cabang di luar kota, bahkan hingga luar jawa.
Tahun 1995, seiring dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta, dakwah Ustadz Wahfiudin pun mulai merambah ke layar kaca. Dimulai dengan kuliah tujuh menit menjelang berbuka, lalu di acara pengajian-pengajian waktu sahur di TPI. Sejak itulah ustadz Wahfiudin mujlai go public dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.
Berkah lainnya, ia juga mendapat undangan dari luar negeri. Dimulai dari Jerman, lalu Perancis, Malaysia, Amerika dan seterusnya.
Dakwah di negeri asing juga memperkenalkannya dengan tokoh ulama dunia, sperti Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika. Bahkan, belakangan Syaikh Hisham mengundangnya selama tiga bulan ke negeri Paman Sam untuk menghadiri seminar tasawuf sekaligus mengikuti safari dakwah.
Ihwal kedekatannya dengan dunia thariqah, Kiai Wahfiudin mengaku, bermula pada tahun 1988, saat ia merasakan kekeringan dalam keberagamaannya yang menganut faham Wahhabi. “Sebab faham Wahhabi cenderung menafsirkan segala sesuatu secara harfiah atau tekstual saja,” katanya.
Kiai muda itu pun mulai membuka-buka kembali buku-buku islam tradisional, yang lebih dinamis dan terbuka terhadap pemikiran madzhab, filsafat dan tasawuf. “Keislaman saya perlahan terasa segar kembali dan lebih arif dalam menyikapi segala sesuatu.”
Sejak itu ia merasa, langkahnya terus dibimbing mendekat kepada ulama-ulama besar kalangan tradisionalis. Tahun 1995, misalnya ia mendapat kesempatan mengantar seorang teman muslim dari Jerman berkunjung ke Pesantren Suryalaya dan berjumpa dengan Abah Anom. Setelah melalui serangkaian dialog dengan sang mursyid, Kiai Wahfiudin ditalqin dzikir dan dibay’at masuk Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Setelah itu berturut-turut ia berjumpa dengan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang memeluknya erat-erat sebelum memberikan khirqah, di Makkah, pada musim haji tahun 1996. Lalu dengan Syaikh Hisham Kabbani di Amerika pada akhir tahun 1997, yang kemudian menawarinya menjadi perwakilannya di Indonesia.
Tak hanya itu kesungguhan Kiai Wahfiudin berthariqah belakangan mendapat pengakuan dari guru mursyidnya. Pada tahun 1998, ketika ia tengah berada di Amerika, Abah Anom mengangkatnya menjadi salah seorang wakil talqinnya.
Meski kelihatannya singkat, hanya dua tahun setelah Kiai Wahfiudin pertama kali di talqin dzikir, proses pengangkatannya menjadi wakil talqin melalui proses yang cukup berliku.
Selesai dibay’at, ia keluar dari rumah Abah Anom, ia memborong buku-buku di toko buku Suryalaya dan membacanya di rumah sepanjang tahun itu. Ia berharap akan mendapat banyak ilmu dan pencerahan spiritual dari buku-buku tersebut.
“Sebagai mantan pengikut Wahhabi, saya berusaha mengkunyah-kunyah ajaran tasawuf itu dengan pendekatan rasional dan teoritis,”katanya.
Pencerahan Sejati
Hasilnya, ia memang mendapat banyak ilmu yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dan pentingnya thariqah dalam kehidupan beragama. Namun di sisi lain ia merasa, semua bacaannya belum memberinya tambahan ‘nilai’ dalam qalbunya.
Suami Hj. Rachmajanti dan ayah lima anak itu penasaran. Setahun setelah dibay’at, Pesantren Suryalaya mengadakan Pelatihan Muballigh Tarekat. Dengan penuh harapan, ia pun mendaftar. Namun lagi-lagi ia merasa semua materi pelatihan yang diberikan selama empat hari itu tidak memberinya tambahan ilmu. “Semua yang dismpaikan sudah saya baca di buku-buku yang saya beli,”katanya.
Baru setelah sampai di rumah dan menunaikan shalat lalu berdzikir, ia tersadar. Meski sepertinya tidak mendapatkan tambahan ilmu, ia merasakan ada perubahan medasar dalam hatinya. Ia merasakan ada ‘sesuatu’ yang menggetarkan qalbunya. Lalu ia merenung, mencerna apa yang tengah dialaminya…
“Akhirnya saya baru sadar, selama ini saya hanya membaca dan membaca ilmu thariqah. Tapi tak sekali pun dzikirnya saya amalkan. Saya kelewat bersemagat mencoba mencernanya dengan otak dan logika. Tetapi selama empat hari mengikuti pelatihan saya diajak mengamalkan dzikirnya secara konsisten setia habis shalat fadhu dan sunnah, “ katanya dengan pandangan berbinar.
Ternyata thariqah itu memang untuk diamalkan, kata Wahfiudin, bukannya sekadar dikaji, dibaca atau didiskusikan. “Membaca atau mendiskusikan thariqah tidak akan menambah nilai apa pun dalam spiritualitas kita. Tapi dengan mengamalknnya secara istiqomah, kita akan mengalami perjalanan spiritual dan satu persatu hijab qalbu kita akan terbuka. Saat itulah pengetahuan sejati akan berdatangan dengan sendirinya,” ujarnya.
Sejak itu, seperti mendendam, semua buku thariqah itu ia masukkan lemari dan ia kunci. Kali itu Wahfiudin mencoba lebih memahami thariqah dengan mempraktekkan dan mempraktekkan.
“Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian terbukti. Pengetahuan dan pengamalan spiritual yang saya dapatkan melalui pengamalan itu ternyata jauh lebih banyak daripada semua buku yang saya baca,” katanya.
Kedekatannya dengan Abah Anom juga memberinya pengalaman spiritual menarik. Wahfiudin yakin, dengan keistiqomahannya dalam beribadah dan membimbing umat, Abah Anom adalah salah seorang waliyullah. Baginya, seorang wali adalah orang yang di dalam dirinya terdapat minimal empat hal:
1. Ketekunan dalam beribadah
2. Akhlaq yang mulia
3. Kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya, dan
4. Karomah
Mengenai kriteria yang ketiga, ia pernah memiliki kisah menarik. Suatu hari salah seorang jamaahnya berpamitan padanya untuk pindah mengikuti tarekat lain. Alasannya karena teman-temannya yang mengikuti tarekat lain tersebut banyak yang mendapat pengalaman luar biasa dan kesaktian.
Dengan ringan, Wahfiudin mengatakan, “Silakan…!”
Beberapa bulan kemudian , orang itu datang lagi dan menyatakan kapok, karena tarekat dan mursyid barunya itu tak seperti yang ia bayangkan. Ia ingin kembali kepada Thariqah Qadiriyyah wa Nagsyabandiyyah yang diasuh Abah Anom.
Lagi-lagi sang Wakil Talqin mengatakan, “Silakan…!”
Orang itu lalu menanyakan mengapa dulu Ustadz Wahfiudin mengizinkannya pindah tarekat.
“Alasannya dua,” kata sang ustadz, “Pertama, karena kamu sedang gandrung dengan ilmu kesaktian. Saya larang pun, kamu akan tetap mencari-cari cara untuk mempelajarinya. Kedua, saya juga ingin tahu seberapa tinggi tingkatan guru mursyid barumu itu.”
“Seorang yang juga wali seperti Abah Anom mempunyai kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya…”
Demikianlah K.H. Wahfiudin. Bisa dibilang, ia termasuk orang yang beruntung, karena mendapat kesempatan belajar dari pengalamannya yang luas malang melintang, melintasi beragam sisi keberagamaan. Meski begitu, ia masih belum merasa puas. Ada satu hal menurutnya hingga kini belum ia raih, yakni istiqomah dan ikhlas dalam beribadah. Luar biasa…
Hasil wawancara wartawan majalah alkisah Ali Yahya kepada KH. Wahfiudin, SE, MBA, Mei 2008
Dimuat dalam majalah alkisah No. 12/2-15 Juni 2008 halaman 38-47.
Ditulis ulang oleh Handri Ramadian asisten KH. Wahfiudin, SE, MBA.
Mursyid Thoriqot Qoodiriyah Naqsyabandiyyah Suryalaya mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com
Mursyid Thoriqot Qoodiriyah Naqsyabandiyyah Suryalaya
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin ra (Abah Anom )
PENGASUH Pontren Suryalaya K.H. Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) menerima ucapan selamat dari sejumlah pejabat atas diterimanya penghargaan dari IFNGO Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait pengabdiannya membantu pemulihan korban narkoba, di Pontren Suryalaya Kab. Tasikmalaya, Kamis (8/1).* UNDANG SUDRAJAT/”PR” BERAWAL dari keprihatinan yang dirasakan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya K.H. Ahmad Sohibulwafa Tajul Arifin (94), melihat banyaknya anak muda yang terjerumus narkotika, kiai yang akrab dipanggil Abah Anom tersebut mendirikan pondok pesantren khusus yang bernama Inabah. “Inabah pertama yang didirikan oleh Abah Anom yaitu pada tahun 1980,” kata Juru Bicara Pondok Pesantren (Pontren) Suryalaya K.H. Zaenal Abidin Anwar, di Suralaya, Kab. Tasikmalaya, Kamis (8/1). Setelah melalui berbagai kajian, termasuk seminar pencegahan narkotika di Pontren Suryalaya, akhirnya Abah Anoh berkekuatan hati untuk membuat pondok pesantren khusus bernama Inabah. Arti nama pontren tersebut adalah pengembalian atau pemulihan seseorang dari jalan yang menjauhi Allah ke jalan mendekatkan diri kepada Allah. Karena keteguhan serta keikhlasan Abah Anom, upaya penyelamatan korban narkoba tersebut akhirnya membuahkan hasil. Mereka yang kecanduan narkoba bisa pulih seperti semula. Dalam pemikiran Abah Anom, orang yang sedang mabuk, yang jiwanya sedang guncang dan terganggu, diperlukan metode pemulihan (inabah). Mereka yang mengikuti program Inabah harus ikut kegiatan sepanjang 24 jam. Kurikulum pembinaan yang ditetapkan oleh Abah Anom mencakup mandi dan wudu, salat dan zikir, serta ibadah lainnya. Biasanya, waktu pemulihan antara 40 hari sampai 6 bulan Cara Abah Anom akhirnya berkembang pesat serta banyak dipercaya oleh berbagai pihak, sehingga banyak keluarga yang menitipkan saudara atau anak mereka ke Inabah. Jumlah pondok Inabah sekarang sudah berkembang menjadi 31 pondok, termasuk sembilan di antaranya berada di luar negeri. Lebih dari 5.000 orang yang kecanduan narkoba, berhasil pulih kembali setelah masuk Inabah. Abah Anom berusaha dengan sabar membina anak-anak yang jadi korban narkoba tersebut. Setelah 28 tahun berjalan, apa yang dilakukan Abah Anom mendapat pujian dari berbagai pihak. Abah Anom pernah memperoleh penghargaan dari presiden, atas jasanya membantu pemulihan korban narkoba.
Januari 2009, penghargaan piagam emas “Distinguished Service Awards” juga diberikan kepada Abah Anom oleh International Federation of Non-Government Organisations (IFNGO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Piagam emas yang merupakan puncak prestasi tertinggi dalam pengabdian seseorang membantu memulihkan korban narkoba, terlihat dipajang di dinding ruangan tamu rumah Aba Anom. Piagam tersebut diberikan di Australia oleh Charmain IFNGO Dr. K.C. Lam kepada perwakilan Suryalaya Jakarta, Ir. Ucu Suparta . Apa yang dilakukan Abah Anom dinilai telah menyelamatkan nyawa serta masa depan anak-anak yang jadi korban narkoba.
Hidup normal
Berdasarkan hasil penelitian Dr. Juhaya S. Praja, tahun 1981-1989, sebanyak 93,1% dari 5.845 anak binaan yang mengikuti program di Inabah, bisa dikembalikan ke keadaan semula. Selain itu, mereka dapat kembali hidup di tengah masyarakat dengan normal. Kondisi itu yang membuat berbagai lembaga memberikan penghargaan kepada Abah Anom. “Kita bersyukur bisa menerima piagam penghargaan dari PBB. Piagam itu merupakan pengakuan dari dunia atas kerja keras yang dilakukan oleh Abah, dalam membantu menangani korban narkoba,” kata K.H. Zaenal Abidin Anwar.
Sementara itu, Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Timur Pradopo mengatakan, penghargaan diberikan PBB kepada Abah Anom adalah hal yang luar biasa. Artinya, dunia sudah memberikan penghargaan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abah Anom selama ini, dalam pengabdiannya untuk membantu memulihkan korban narkoba. “Itu luar biasa sekali. Guru besar Abah Anom telah memberikan teladan kepada kita semua. Sekarang, kita semua yang meneruskannya, harus benar-benar menjaga keluarga kita, lingkungan kita dari narkoba,” ujar Timur Pradopo saat berkunjung ke Pontren Suryalaya. Sedangkan Bupati Tasikmalaya Tatang Farhanul Hakim mengatakan, penghargaan dari PBB tersebut merupakan kebanggaan bagi warga Tasikmalaya. Karena terbuki, pengabdian dan kiprah pengasuh Suryalaya telah mendapat pengakuan dari lembaga dunia. “Saya dan atas nama masyarakat Tasikmalaya benar-benar bangga, dan hal itu menjadi aset kita semua. Apa yang dilakukan oleh Suryalaya benar-benar telah memberikan manfaat dan diakui oleh dunia,” kata Tatang, didampingi Ketua DPRD Kab. Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum. Ucapan serupa dikemukakan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial Brigadir Jenderal Kurdi Mustofa, yang datang ke Suryalaya mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya sangat gembira dan bangga terhadap Pontren Suryalaya, yang ternyata memang mampu berbuat banyak untuk masyarakat luas. Sehingga, upaya perang terhadap narkoba dilakukan dengan sepenuh hati. Dengan adanya penghargaan dari PBB itu telah membuktikan kalau keberadaan pesantren ini telah diakui dan tentunya menjadi kebanggaan bagi Indonesia,” ujarnya. (Undang Sudrajat/”PR”)***
ABAH ANOM Terima "Piagam Emas"
Kamis, 08/01/2009 - 11:42
TASIKMALAYA, (PRLM).- Pimpinan Pondok Pesantren (Pontren) Suryalaya Tasikmalaya, Abah Anom memperoleh penghargaan "Piagam Emas" dari PBB, atas perannya dalam penanganan narkotika dan obat terlarang (narkoba).
Juru bicara Pontren Suryalaya, K.H. Zaenal Abidin, Kamis (8/1), mengatakan, Pontren Suryalaya selama ini selalu konsisten terhadap penanganan narkoba. Saat ini sudah ada 31 inabah (tempat rehabilitasi pecandu narkoba) yang dimiliki Pontren Suryalaya. Dari jumlah tersebut, 10 di antaranya berada di luar negeri.
Semetnara itu, Kapolda Jabar, Irjen Timur Pradopo menyampaikan selamat dan ucapan terima kasih terhadap pimpinan Pontren Suryalaya. "Santri selain mendalami ilmu agama, juga akan sangat lebih berarti jika membantu dalam penanganan narkoba," katanya. (A-97/A-147)***
Kunjungan Maulana Syekh Nazim QS ke Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
Pagi hari setelah Salat Subuh di hotel, rombongan berangkat menuju Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya. Di sana Mawlana Syekh Nazim QS, Syekh Hisyam QS dan rombongan menemui K.H. Shohibul Wafa Tajul Arifin yang lebih dikenal dengan Abah Anom, Mursyid Tarekat Qadiriah wa Naqsybandiyyah. Mawlana Syekh Nazim QS yang berusia 10 tahun lebih muda memasuki kediaman Abah Anom dan mencium tangan beliau.
Abah Anom berada dalam kondisi yang tidak bisa menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, bahkan untuk tersenyum pun beliau sulit sekali, namun Mawlana mengatakan, “Jangan kalian pikir bahwa Tajul Arifin sedang tidur, beliau mengirimkan ke dalam hati saya, apa yang beliau ingin sampaikan kepada kalian.” Beliau lalu melanjutkan bahwa Abah Anom merupakan salah seorang pembawa Cahaya Muhammad SAW. Seluruh ruangan menjadi terharu. Banyak yang menangis karena bahagia. Setelah itu, Abah Anom memberi isyarat bahwa beliau akan berdoa—suatu kejadian yang sangat langka—dan ini menambah suasana menjadi lebih haru, karena untuk pertama kalinya mereka dapat mendengar suara Abah Anom. Beliau adalah seorang Syekh besar, yang muridnya tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Singapura dan lain-lain.
Sebelum berangkat, Mawlana melakukan salat 2 rakaat dan memberikan bay’at kepada Abah Anom ke dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani. Mawlana kemudian mendoakan hati, tangan dan kaki Abah Anom. Mawlana sangat senang bertemua dengan Abah Anom, dan begitu pula sebaliknya. Seluruh murid memperbarui bay’at mereka dengan mengangkat tangannya ke udara.
Melalui Mawlana Syekh Nazim QS, Abah Anom mengatakan bahwa beliau telah menunjuk putra bungsunya untuk menjadi penerus beliau. Kemudian rombongan pun berpamitan dan kembali ke Jakarta
Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan.
Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akbrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Mentri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika. Dengan demikian ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar negeri seperti yang disebutkan di atas.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.
Tujuan TQN
Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah disingkat TQN secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Dan tujuan TQN adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
Dalam tradisi tarekat, tujuan TQN dilukiskan secara jelas dalam do'a yang diucapkan setiap orang yang hendak melakukan amalan yang maha penting, yaitu dzikrullah. Do'a dimaksud adalah sebagai berikut:
"Tuhanku, engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu"
Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.
- Betul semua manusia akan kembali kepada Allah, tetapi apakah ia akan kembali kepada ridha Allah atau kepada azab Allah.
- Dalam doa tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa keridhoan Allah-lah (mardhotillah) yang hendak dicari. Dalam aplikasinya, keridhoan Allah hanya dapat dicari dengan taqarrub. Taqarrub ila Allah artinya mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikrullah, baik dzikrullah dalam arti umum maupun dalam arti khusus. Adapun yang termasuk dzikrullah yang disebut pertama: misalnya shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur'an atau berbagai aktivitas manusia yang dasarnya tauhidullah, berorientasi kepada ridho Allah dan dilakukan secara ikhlas karena Allah. Sedangkan yang dimaksud dzikrullah dalam arti khusus adalah mengucapkan kalimat tayyibah secara lahir batin, dengan penuh penghayatan, tadharru dan khusuk dibawah bimbingan seorang mursyid melalui talqin. Itu bisa dilakukan secara perorangan (munfarid) ataupun secara berjama'ah; diucapkan secara jahr atau khafi, dengan tujuan berada sedekat mungkin disisi Allah. Nabi Saw bersabda: "Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak, beradalah bersama orang yang bersama Allah".
- Dalam upaya menggapai maksud yang begitu luhur tadi, yaitu keridhoan Allah, seorang "salik" hendaklah berdo'a dengan do'a sebagai terlukis dalam awal ibadah dzikir tadi, "Berilah aku kemampuan, ya Allah untuk mencintai-Mu dan ma'rifah kepada-Mu". Sebab tanpa hidayah dan pertolongan Allah, mustahil seseorang mempunyai kemampuan untuk bertaqorrub kepada-Nya, lebih-lebih dapat sampai kepada keridhoan-Nya. TQN, sebagai ajaran, bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah ajaran yang kemunculannya identik dengan kemunculan Islam itu sendiri, yaitu "Thauhidullah", mengesakan Allah. Doktrin ini kemudian ditanamkan oleh Mursyi Al-Awwal, yaitu Nabi Saw, didalam qalbu setiap sahabat, lalu dihayati dirasakan dan buahnya dibuktikan dalam aktifitas kehidupan kesehariannya secara seimbang. Dalam term tasawuf, orang yang mampu mengaplikasikan tauhidullah dalam kehidupannya secara seimbang disebut Insan Kamil (Manusia Paripurna).
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam TQN, yaitu kesempurnaan Suluk, Adab Murid terhadap Mursyid, Dzikir dan Muraqah. Tetapi inti ajaran TQN adalah Muroqobah artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amalan dan riyadhah; yang paling prinsip adalah dengan cara berdzikir, sebagaimana sabda Imam Ali "cara terbaik dan tercepat untuk sampai kepada Allah adalah Dzikrullah". Dzikir dalam TQN dilakukan setelah melaksanakan Ibadah Wajibah.
Ibadah Wajibah merupakan penjabaran Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku; nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan dan cobaan".
Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir; bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat", (QS. Al Ankabut, 29 : 45).
Menurut orang-orang yang ma'rifat, paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;
- Pertama, Sesungguhnya dzikir kepada Allah lebih besar daripada segala sesuatu. Ia adalah ketaatan yang paling utama; yang dimaksud taat disini adalah menegakan dzikir kepada Allah, sedangkan dzikir adalah rahasia ketaatan dan daya ketaatan itu sendiri.
- Kedua, Sesungguhnya kamu sekalian, kaum muslimin, jika ingat kepada-Nya, maka Allah pun ingat kepadamu; sedangkan dzikir Allah kepadamu lebih besar daripada dzikir kamu kepadanya.
- Ketiga, Sesungguhnya Dzikir kepada Allah lebih besar daripada tetapnya "Fakhisyah" dan "kemungkaran, bahkan jika dzikir dibaca secara sempurna, ia akan dapat menghilangkan segala kesalahan dan maksiat.
- Keempat, Sesungguhnya amal sholeh, apabila ingin diterima oleh Allah, harus diakhiri dengan dzikir dan pujian. Menurut Pangersa Abah, sebagai dikutip Djuhayah S. Praja, Taqarrub illa Allah merupakan inti ajaran tasawuf (TQN) dengan cara mensucikan jiwa (tasfiyat al qulub). Dengan qalbu yang suci seorang Salik mungkin dapat meihat Tuhannya.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa TQN adalah salah satu metode untuk mencapai tujuan tasawuf, tujuan dari suatu inti keberagamaan, dengan kata lain, Abah memandang TQN bukan satu-satunya jalan pencapai tujuan "ini berarti" demikian analisis djuhaya, "Abah menghormati tarekat-tarekat yang lain". Secara vertikal, TQN membawa manusia kepada Tuhan dan secara seharusnya hidup secara bersama dalam sosial kemasyarakatan. Tanbih mengandung ajaran Moral, menyangkut pelbagai kehidupan. Pandangan TQN menyangkut hubungan dengan Negara, misalnya, dapat dilihat dalam uraian tanbih sebagai berikut: "Adapun kami tempat bertanya tentang Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, menghaturkan dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid; berhati-hatilah dengan segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan Agama maupun Negara. Insafilah, jangan terpengaruh oleh godaan syaitan, waspadailah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama maupun Negara, agar dapat meneliti diri kalau tertarik oleh biskan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita".
Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:
- Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai;
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
- Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan;
- Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh keadaran meskipun kepada orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam As. Mengingat ayat 70 Surat al-Isra yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Nabi Adam dan Kami sebarkan segala yang berada didarat dan lautan, juga Kami mengutamakan mereka lebih utama dari mahluk lainnya". Kesimpulan dari ayat ini bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surat al Maidah yang artinya: "Hendaklah tolong menolong dengan sesama dan dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama maupun Negara, sebaliknya jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun Negara".
Keempat materi tanbih diatas menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.
Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna ( Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syaithan". Kebahagiaan lahir batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah risilah yang di beri nama Uqud Al-jumaan.Praktek-praktek
Seorang pengamal TQN harus membuktikan kebajikan yang timbul dari kesucian, sebagai berikut:
- Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun bathin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai.
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah).
- Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
- Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Disamping itu seorang pengamal TQN harus mengamalkan wasiat dari Guru Mursyid antara lain:
- Jangan membenci kepada ulama yang sezaman
- Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain
- Jangan memeriksa murid orang lain
- Jangan merubah sikap meskipun disakiti orang
- Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu
Juga kepada segenap pengamal TQN agar dapat menjaga keseragaman pengamalan (amaliah) baik harian, mingguan (khataman) maupun bulanan (manaqiban) sebagai berikut;
- HARIAN, dzikir berjama'ah dengan tertib, tidak tergesa-gesa, menjaga suara agar tidak saling mendahului.
- MINGGUAN, Khataman yang berisi tawassul dan membaca aurod-aurod serta do'a-do'a.
- BULANAN, Manakib dengan tata tertib sebagai berikut:
- Pembacaan ayat suci Al-Qur'an
- Pembacaan Tanbih
- Tawassul
- Pembacaan Manakib Syekh Abdul Qadir Jailani QS
- Ceramah amaliah
- Penutup
T A N B I H
Tanbih ini dari Syaekhuna Almarhum Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang bersemayam di Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda beliau kepada khususnya segenap murid-murid pria maupun wanita, tua maupun muda :
“Semoga ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah Subhanahu Wata’ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaan dan keagungannya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur dhohir maupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada segenap murid-murid : berhati-hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan agama maupun negara.
Ta’atilah kedua-duanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadlirat Illahi Robbi yang membuktikan perintah dalam agama maupun negara.
Insyafilah hai murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan setan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah agama maupun negara, agar dapat meneliti diri, kalau kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita.
Lebih baik buktikan kebajikan yang timbul dari kesucian :
1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita, baik dlohir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun dan saling menghargai.
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah agama maupun negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya “Adzabun Alim”, yang berarti duka-nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai dengan akhirat (badan payah hati susah).
3. Terhadap oarang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yahng lemah-lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebaikan.
4. Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir-miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Demikanlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang-orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam a. s. mengingat ayat 70 Surat Irso yang artinya :
“Sangat kami mulyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala yang berada di darat dan di lautan, juga kami mengutamakan mereka lebih utama dai makhluk lainnya.”
Kesimpulan dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat Al-Maidah yang artinya :
“Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap agama maupun negara, sebaliknya janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah agama maupun negara".
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surat Al-Kafirun ayat 6 :”Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku”,
Maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur.
Cobalah renungakan pepatah leluhur kita:
“ Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam surat An-Nahli ayat 112 diterangkan bahwa :
“Tuhan yang Maha Esa telah memberikan contoh, yakni tempat maupun kampung, desa maupun negara yang dahulunya aman dan tenteram, gemah ripah loh jinawi, namun penduduknya/ penghuninya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri”.
Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dlohir-bathin, dunia maupun akhirat, supaya hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya “ Budi Utama-Jasmani Sempurna “ (Cageur-Bageur).
Tiada lain amalan kita, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebaikan, menjauhi segala kejahatan dhohir bathin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid-murid agar supaya mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Amin.
Patapan Suryalaya, 13 Pebruari 1956
Wasiat ini disampaikan kepada sekalian ikhwan
(KH.A Shohibulwafa Tadjul Arifin)
SILSILAH TQN
Guru Mursyid
“THORIQAT QOODIRIYYAH WAN NAQSYABANDIYYAH”
(TQN)
PONDOK PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA
Selengkapnya...
SILSILAH TQN
Guru Mursyid
“THORIQAT QOODIRIYYAH WAN NAQSYABANDIYYAH”
(TQN)
PONDOK PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA
- Robbul Arbaabi wa mu’tiqur-qoobi Allah S.w.t.
- Sayyidunaa Jibril a.s.
- Sayyidunaa Nabi Muhammad S.a.w.
- Sayyidunaa ‘Alliyyu karrama ‘llohu wajhah.
(Sayyidunaa Ali Bin Abi Thalib)
- Sayyidunaa Hussain r.a.
- Sayyidunaa Zainul ‘Aabidinn r.a.
- Sayyidunaa Muhammadul Baaqir r.a.
- Sayyidunaa Ja’farus Shoodiq r.a.
- Sayyidunaa Imam Muusa Alkaadhim r.a.
- Syeikh Abul Hasan ‘Alii bin Muusa r.a.
- Syeikh Ma’ruuful Kurkhi r.a.
- Syeikh Sirris Saqothii r.a.
- Syeikh Abul Qoosim Al-Junaedil Baghdaadii r.a.
- Syeikh Abuu Bakrin Dilfis Syibli r.a.
- Syeikh Abul Fadli Ao’abdul Waahid at Tamiimii r.a.
- Syeikh Abdul Faroj at Thurthuusi r.a.
- Syeikh Abul Hasan ‘Alii bin Yuusuf al Qirsyi al Hakaarii r.a.
- Syeikh Abuu Sa’iid al Mubarok bin ‘Alii al Makhzuumii r.a.
- Syeikh ‘Abdul Qoodir Al Jaelanii q.s.
- Syeikh ‘Abdul ‘Aziiz r.a.
- Syeikh Muhammad Al Hattak r.a.
- Syeikh Syamsuddin r.a.
- Syeikh Syarofuddiin r.a.
- Syeikh Nuuruddiin r.a.
- Syeikh Waliyuddiin r.a.
- Syeikh Hisyaamuddiin r.a.
- Syeikh Yahya r.a.
- Syeikh Abuu Bakrin r.a.
- Syeikh ‘Abdur rohiim r.a.
- Syeikh ‘Utsman r.a.
- Syeikh ‘Abdul Fattah r.a.
- Syeikh Muhammad Murood r.a.
- Syeikh Syamsuddiin r.a.
- Syeikh Ahmad Khootib Syambaasi Ibnu ‘Abdul Ghoffaar r.a.
- Syeikh Tholhah Kali Sapu Cirebon r.a.
- Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a.
(Abah Sepuh)
Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya.
- Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin r.a.
(Abah Anom Suryalaya)
Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya.
Silsilah Dalam TQN
Allah SWT
Jibril as
Rasulullah Muhammad saw
Ali k.w.h | 2 | Abu Bakar ash Shiddiq |
Hussayn r.a | 3 | Salman al Farisi |
Zayn al Abidin | 4 | Qasim b. Muhammad b. Abi Bakar |
Muhammad Baqir | 5 | Ja'far Shadiq |
Ja'far Shadiq | 6 | Bayazid Tayfur al Bistami |
Musa al-Kazhimi | 7 | Abu'l Hasan AlKharqani |
Abu al - Hasan Ali ibn Musa | 8 | Abu Ali farmadi |
Ma'ruf al-karkhi | 9 | Abu Yususf Hamdani |
Sarri Saqathi | 10 | Abdul Khaliq Ghujdawani |
Abu al-Qasim al-Juanydi al-Baghdadi | 11 | Muhammad Arif Riwagiri |
Abu Bakar Dilfi Syibli | 12 | Mahmud Abdulkhayr Faghnawi |
Abu Faddl Abd. Wahid at Tamimi | 13 | Azizan Ali Ramitani |
Abu al Faraj at Thusy | 14 | Muhammad Baba Sammasi |
Abu al Hasan Ali ibn Yusuf al-Qirsyi | 15 | Amir Kuallal |
Abu Said ibn Ali al Mazhumi | 16 | Shah Muhammad Bahaudin al Uwaysi |
Abdul Qadir al Jaylani | 17 | Ala'uddin Muhammad Attar |
Abdul Aziz | 18 | Ya'kub Harqi |
Muhmmad al Hattak | 19 | Nashruddin Ubaydillah Ahrar |
Syamsyuddin | 20 | Muhammad Zahidi |
Syarafuddin | 21 | Darwis muhammad Baqi Billah |
Nuruddin | 22 | Imam rabbani Ahmad Faruqi Sirhindi |
Waliyuddin | 23 | Muhammad Ma'shum Srihindi |
Hisyamuddin | 24 | Safruddin Arif Muhmmad |
Yahya | 25 | Nur Muhammad Badawu |
Abu Bakar | 26 | Syamsuddin Habibullah jan I Janan |
Abdur Rahman | 27 | Abdullah ad Dihlawi |
Utsman | 28 | Abu Said al ahmadi |
Abdul Fatah | 29 | Ahmad Said |
Muhammad Murad | 30 | M. Jan al Makkiy |
Syamsuddin | 31 | Khalid Hilmi |
Ahmad Khatib as-Sambasi | 32 | |
Thalhah | 33 | |
Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad (Abah Sepuh) | 34 | |
Ahmad Shahibul Wafa' Tajul Arifin (Abah Anom) | 35 |